Beranda | Artikel
Mengatasi Sikap Plin-plan
Rabu, 13 Desember 2023

MENGATASI SIKAP PLIN-PLAN

Segala puji hanya untuk Allah Ta’ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam . Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan-Nya. Amma ba’du:

Sesungguhnya nash-nash syar’iyah yang banyak bertebaran, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits, seringkali mendorong seorang mukmin untuk tetap istiqomah serta teguh diatas metodologi (pendirian) yang benar, dan memperingtkan supaya tidak saling kontradiksi (bertentangan), baik dalam ucapan maupun perbuatannya. Hal itu, seperti di ilustrasikan dengan sangat gamblang oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla melalui firman-Nya:

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّتِيْ نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ اَنْكَاثًاۗ [النحل: 92]

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali”. [an-Nahl/16: 92].

Para ulama tafsir menjelaskan tentang ayat diatas: “Perempuan yang pandir ini dahulunya berada di Makah, tiap kali dirinya memintal benang dengan sempurna, kemudian dia urai kembali”. Sedangkan Qatadah dan Mujahid menjelaskan maksud ayat: “Perumpamaan ini ditujukan bagi setiap orang yang menguraikan sumpah atau perjanjiannya setelah ada bukti”.[1] Padalah Allah ta’ala mengatakan dalam firman-Nya:

وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللّٰهِ اِذَا عَاهَدْتُّمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْاَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا [ النحل: 91]

“Dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya”. [an-Nahl/16: 91].

Dan sikap yang kontradiksi (plin plan) seperti ini bukanlah termasuk sifatnya seorang mukmin yang takut kepada Allah azza wa jalla. Seperti yang Allah Shubhanahu wa ta’alla sifatkan pada Nabi-Nya Syu’aib:

 وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أُخَالِفَكُمۡ إِلَىٰ مَآ أَنۡهَىٰكُمۡ عَنۡهُۚ  [ هود: 88]

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang (atas kalian)”.  [Huud/11: 88].

Dan Allah Shubhanahu wa ta’alla seringkali melarang hal tersebut dalam banyak ayat-Nya, salah satunya yaitu:

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٢ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ  [ الصف: 2-3]

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.  [ash-Shaff/61: 2-3].

Demikian pula dalam ayat yang lain, dimana Allah Shubhanahu wa ta’alla menegaskan larangannya diatas dengan mengatakan:

أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ  [ البقرة: 44]

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”. [al-Baqarah/2: 44].

Hal senada juga diungkapkan oleh banyak hadits, diantara salah satunya adalah riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Rasulallah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ,فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ , فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ: أَيْ فُلَانُ مَا شَأْنُكَ ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنْ الْمُنْكَرِ؟ قَالَ :كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ , وَأَنْهَاكُمْ عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ » [أخرجه البخاري و مسلم]

Akan di datangkan kelak pada hari kiamat seseorang yang dilempar ke dalam neraka, lalu ususnya keluar dari tenggorokannya, dirinya berkeliling seperti halnya keledai mengelilingi penggilingan, sehingga membuat penghuni neraka mengerumuninya, lalu mereka berkata padanya: ‘Duhai fulan apa perkaramu? Bukankah dahulu kamu yang menyuruh kami untuk berbuat baik serta melarang kami untuk tidak melakukan kemungkaran? Dia pun menjawab: “Dahulu aku memang menyuruh kalian untuk mengerjakan kebaikan namun aku sendiri tidak mengerjakannya dan benar aku melarang kalian untuk tidak melakukan kemungkaran akan tetapi aku sendiri mengerjakannya“. HR Bukhari no: 3267. Muslim no: 2989.

Dalam musnadnya Imam Ahmad disebutkan sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan: “Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ. فقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ. قَالُوا: خُطَبَاءُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا كَانُوا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ» [أخرجه أحمد ]

Pada malam Isra’ aku melewati sekelompok kaum yang mengergaji lidah-lidah mereka dengan gergaji dari neraka. Aku pun penasaran, lalu bertanya: “Siapakah mereka? Maka dikatakan padaku: ‘Mereka itu adalah para penceramah di dunia yang menyuruh kepada orang untuk berbuat kebajikan namun dia lupa akan dirinya sendiri, mereka membaca al-Qur’an namun mereka tidak memikirkan (maknanya)”.  HR Ahmad 19/244 no: 12211.

Seorang penyair mengatakan dalam qasidahnya:
Janganlah engkau melarang orang tapi kamu sendiri melanggarnya
Sungguh sangat tercela, karena engkau telah menabrak ucapanmu
Mulailah dari dirimu, cegah supaya tidak terpeleset dalam kesalahan
Jika dirimu telah mampu, engkau boleh melarang yang lain
Nasehati mereka dengan ilmu dan petunjuk
Serta ajari dengan suri tauladan yang baik

Gambaran nyata adanya sikap kontradiktif pada sebagian orang:
Diantaranya, seperti digambarkan dalam sebuah hadits, sebagaimana dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا » [أخرجه ابن ماجة]

“Sungguh aku kabarkan (pada kalian), akan ada sekelompok dari kalangan umatku yang datang pada hari kiamat kelak dengan membawa kebaikan yang banyak semisal gunung Tihamah. Namun, Allah tabaraka wa ta’ala menjadikan amalan tersebut bagaikan debu yang beterbangan”.  Maka Tsauban bertanya: “Wahai Rasulallah, sifatkanlah pada kami siapa mereka, jelaskan pada kami siapa mereka, supaya kami tidak sampai seperti mereka sedang kami tidak mengetahuinya”. Beliau menjelaskan: “Adapun mereka adalah saudara kalian dan dari bangsa kalian, mereka sholat malam sebagaimana kalian sholat, akan tetapi jika telah selesai mereka menerjang kembali larangan Allah”. HR Ibnu Majah no: 4245. Di nilai shahih oleh al-Bushiri dan al-Albani.

Gambaran yang ada dalam hadits menjelaskan pada kita bahwa ini merupakan salah satu sifat kontradiktif, di mana dirinya sholat malam akan tetapi mereka sendiri yang membatalkan amalannya tersebut dengan menerjang larangan-larangan Allah Shubhanahu wa ta’alla.

Diantara bentuk sikap kontradiktif lainnya yaitu nifak. Seorang munafik adalah yang menampilkan amalan dhohirnya dengan kebaikan, dirinya sholat, berhaji, jihad, bersedekah, namun bersamaan dengan itu, bathinnya menyimpan kekufuran, benci dan ingin memerangi Islam dan kaum muslimin. Allah Shubhanahu wa ta’alla menjelaskan sifat mereka itu dalam firman -Nya:

 إِذَا جَآءَكَ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ قَالُواْ نَشۡهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُۥ وَٱللَّهُ يَشۡهَدُ إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ لَكَٰذِبُونَ  [ المنافقون: 1]

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar seorang pendusta”.  [al-Munafiqun/63: 1].

Dalam ayat yang lain Allah ta’ala menjelaskan sifat orang-orang munafik lainnya:

 وَإِذَا لَقُوكُمۡ قَالُوٓاْ ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوۡاْ عَضُّواْ عَلَيۡكُمُ ٱلۡأَنَامِلَ مِنَ ٱلۡغَيۡظِۚ قُلۡ مُوتُواْ بِغَيۡظِكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمُۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ  [ ال عمران: 119]

“Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati”.  (QS al-Imraan: 119).

Sikap kontradiktif lainnya yang banyak terjadi dikalangan kita ialah seperti yang disinggung oleh Imam Ibnu Qoyim dalam salah satu pernyataanya, beliau berkata: “Diantara perkara yang mengherankan ialah, kalau ada seseorang yang sangat tekun menjaga (kewajiban), menyingkirkan makanan yang haram, tidak berbuat dhalim, berzina, mencuri, meminum khamr, serta melihat pada perkara yang haram atau yang lainnya, akan tetapi, dirinya kesulitan untuk menjaga dan menyetir pergerakan lidahnya, sampai kiranya ada seseorang yang terlihat sangat taat beragama, zuhud, dan ahli ibadah akan tetapi dirinya berbicara dengan suatu kalimat yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah Shubhanahu wa ta’alla, sedang dirinya tidak merasa bersalah sama sekali.

Dirinya menuruni tangga neraka gara-gara sebauh kalimat, sejauh timur dan barat. Betapa banyak engkau lihat orang yang menjaga dirinya dari perbuatan hina dan keji, mendhalimi orang, namun, lidahnya mudah memotong dan menyayat kehormatan orang lain, baik yang sudah meninggal maupun masih hidup, dan dirinya tidak perduli dengan ucapannya tersebut”[2]

Faktor yang menimbulkan sikap kontradiktif:
Pertama: Nifak. Tujuannya agar mereka tidak ketahuan jati dirinya, sehingga mereka memilih sifat nifak ini. sedangkan Allah ta’ala menjelaskan dalam firman -Nya:

  إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمۡ وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلٗا  [ النساء: 142]

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”.  (QS an-Nisaa’: 142).

Dalam kesempatan lain, Allah ta’ala memfirmankan:

وَإِذَا لَقُوكُمۡ قَالُوٓاْ ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوۡاْ عَضُّواْ عَلَيۡكُمُ ٱلۡأَنَامِلَ مِنَ ٱلۡغَيۡظِۚ قُلۡ مُوتُواْ بِغَيۡظِكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمُۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ  [ ال عمران: 119]

“Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati”. [al-Imraan/3: 119].

Disebutkan oleh Imam Bukhari sebuah kisah dari Zaid bin Abdullah bin Umar dari ayahnya, beliau menceritakan: “Pernah ada beberapa orang yang berkata pada Ibnu Umar: ‘Sesungguhnya kami ketika dihadapan para pemimpin, kami mengatakan bukan seperti apa yang kami ucapkan tatkala kami keluar dari hadapan mereka”. Maka Ibnu Umar menjawab: “Kami menganggap itu adalah perbuatan nifak”. HR Bukhari no: 7178.

Kedua: Riya’. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan: “Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dari rumahnya, lalu bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أيها الناس إياكم وشرك السرائر قالوا : يا رسول الله وما شرك السرائر ؟ قال : يقوم الرجل فيصلي فيزين صلاته جاهدا لما يرى من نظر الناس إليه فذلك شرك السرائر » [ أخرجه ابن خزيمة ]

Wahai manusia, hati-hatilah kalian dari kesyirikan yang tersembunyi”. Maka para sahabat bertanya: “Wahai Rasulallah, apa kesyirikan yang tersembunyi itu? Beliau menjawab: “Seseorang yang berdiri mengerjakan sholat, lalu dirinya memperbagusi sholat dengan sungguh-sungguh tatkala ada manusia yang melihat kepadanya. Itulah yang dinamakan syirik yang tersembunyi“. HR Ibnu Khuzaimah 2/67 no: 937. Dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam shahih Targhib wa Tarhib 1/119 no: 31.

Dan dinamakan riya’ syirik kecil dikarenakan pelakunya menampakan pada manusian amalannya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla, namun, sejatinya yang dia maksud adalah untuk sekutu atau selain Allah ta’ala, dirinya berusaha memperbagusi sholat untuk sekutu tersebut, sedangkan yang namanya niat, keinginan serta amalan hati secara umum itu tidak ada yang mengetahui hakekatnya melainkan Allah azza wa jalla.[3]

Ketiga: Lemah kemauan. Biasanya seseorang yang kemauannya lemah, itu seringkali bersikap plin-plan. Terkadang dirinya mengerjakan suatu hal namun tidak lama kemudian dirinya memutuskan tidak jadi.

Contoh yang paling nyata, seseorang yang punya kebiasaan merokok, kemudian ada orang yang menasehati dirinya, sehingga dia menjadi paham akan keharaman rokok dan mampu meninggalkan rokok beberapa waktu lamanya, namun dirinya mulai melemah sedikit demi sedikit, lalu pada akhirnya kembali lagi merokok.

Keempat: Sombong. Terkadang kita lihat sebagian orang ada yang sangat sibuk mengerjakan pekerjaan yang sangat banyak. Akan tetapi, tatkala datang perintah untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu yang telah ditentukan oleh syari’at dirinya enggan melakukannya, dengan anggapan bahwa hal tersebut akan mengurangi martabatnya.

Misalkan, jika dirinya diberi nasehat agar mau memanjangkan jenggot, atau memendekan baju sampai diatas mata kaki, dia berdalih, aduh ini sulit bagiku, bagaimana mungkin aku berpenampilan seperti ini didepan orang banyak?! Biarpun dahulu panutan kita, penghulu para Nabi jenggotnya sampai diatas dada dan kain sarungnya sampai di pertengahan betis, tetap ia menolak karena sombong.

Kelima: Basa-basi dengan orang lain. Kita dapati ada sebagian orang seringkali berbasa-basi walaupun tidak dibolehkan oleh syari’at, dengan dalih malu atau demi senangnya orang lain. Allah azza wa jalla menjelaskan dalam firman -Nya:

وَٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَحَقُّ أَن يُرۡضُوهُ إِن كَانُواْ مُؤۡمِنِينَ  [ التوبة: 62]

“Padahal Allah dan Rasul -Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin”. [at-Taubah/9: 62].

Keenam: Cinta pada popularitas. Ada sebagian orang yang ditanya tentang sebuah hukum syari’at pada permasalah tertentu, maka dirinya memadang rendah perkara tersebut karena takut wibawanya akan jatuh dimata orang. Sedangkan masyarakat menginginkan fatwanya tidak terlalu keras namun yang mudah saja. Orang seperti ini, dikomentari oleh Abdullah bin Mubarak yang mengatakan: “Sufyan ats-Tsauri pernah berkata padaku: ‘Hati-hatilah kamu dari cinta popularitas, sungguh tidak ada orang yang mendatangiku melainkan aku nasehatkan supaya dirinya hati-hati dengan yang namanya popularitas”. [4]

Obat serta solusi untuk mengatasi sikap plin-plan tersebut
Pertama: Hendaknya orang tersebut mengetahui bahwa sikap kontradiksi itu bukan termasuk sifatnya orang-orang yang beriman, sebagaimana Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman kepada Nabi      -Nya:

 فَٱسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ ٞ  [هود: 112]

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu”. [Huud/11: 112]. Allah Shubhanahu wa ta’alla tidak mengatakan sebagaimana yang aku inginkan.

Sedangkan Allah ta’ala telah memerintahkan pada kita untuk totalitas dalam beragama, Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ ٞ  [ البقرة: 208]

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam (secara) keseluruhan”. [al-Baqarah/2: 208].

Al-Hafidh Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah ta’ala berfirman menyuruh kepada para hamba -Nya yang beriman serta yang percaya dengan -Nya, supaya mereka mengambil seluruh ajaran dan syari’at Islam. Lalu mengerjakan seluruh perintah -Nya dan meninggalkan apa yang telah dilarang, sesuai dengan kadar kemampuan mereka”. [5]

Disebutkan dalam sebuah hadits, sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Sufyan bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritkan: “Aku pernah bertanya; ‘Wahai Rasulallah, berilah aku nasehat tentang Islam satu perkara saja yang mana aku sudah tidak pernah bertanya lagi kepada selainmu. Maka Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ » [أخرجه مسلم]

Katakanlah, aku beriman kepada Allah lalu istiqomahlah“. HR Muslim no: 38. dan yang namanya istiqomah itu ialah menetapi terus diatas ketaatan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla.

Kedua: Jujur serta ikhlas kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla pada setiap amal perbuatannya. Sebagaimana ditegaskan oleh -Nya dalam firman -Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَكُونُواْ مَعَ ٱلصَّٰدِقِينَ  [ التوبة: 119]

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”.  [at-Taubah/9: 119].

Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إن تصدق الله يصدقك » [أخرجه النسائي]

“Jika engkau jujur kepada Allah maka Allah akan membenarkanmu”. HR an-Nasa’i no: 1953. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan an-Nasa’i no: 1845.

Ketiga:  Melatih jiwa serta sabar menghadapi kesulitan. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:

 وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ  [ العنكبوت: 69]

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami”.  (QS al-Ankabuut: 69).

Dalam kesempatan yang lain, Allah ta’ala juga berfirman:

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱصۡبِرُواْ وَصَابِرُواْ  [ ال عمران: 200]

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu”.[al-Imraan/3: 200].

Keempat: Seorang mukmin mengetahui bahwa berbuat untuk keridhoan Allah Shubhanahu wa ta’alla akan mengantarkan pada keridhoan manusia.

Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Aisyah, beliau berkata: “Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « من التمس رضا الله بسخط الناس كفاه الله مؤنة الناس, ومن التمس رضا الناس بسخط الله وكله الله إلى الناس » [أخرجه الترمذي]

Barangsiapa mencari keridhoan Allah dengan kemarahan manusia maka Allah akan mencukupkan dari keburukan manusia, dan barangsiapa mencari keridhoan manusia dengan kemurkaan Allah maka Allah akan serahkan pada manusia“. HR at-Tirmidzi no: 2414. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam silsilah ash-Shahihah no: 2311.

Akhirnya kita tutup kajian kita dengan mengucapkan segala puji hanya bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla Rabb seluruh makhluk. Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam , kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.

[Disalin dari الموت وعظاته  Penulis : Syaikh  Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Penerjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah. Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2013 – 1434]
_______
Footnote
[1] Tafsir Ibnu Katsir 8/349.
[2] Al-Jawabul Kaafi  ha: 140.
[3] Ad-Diin Al-Khalis 2/385.
[4] Hilyah Aulia oleh Abu Nu’aim 7/23.
[5] Tafsir Ibnu Katsir 2/273.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/94759-mengatasi-sikap-plin-plan.html